EVALUASI FESTIVAL DARI ZAK SORGA
FESTIVAL DRAMA PELAJAR SE JAWA TENGAH 2011 DIWARNAI AKTOR, AKTRIS DAN SUTRADARA BERBAKAT
Oleh : Zak Sorga
Setelah menyaksikan Festival Drama Pelajar se Jawa Tengah 2011 yang diselenggarakan Teater Gema IKIP PGRI Semarang, berlangsung dari tanggal 23 – 30 Mei 2011 di Kampus IKIP PGRI, sebagai juri yang diberi tanggung jawab untuk mengamati dan menilai semua pertunjukan saya tuliskan catatan ini, semoga bermanfaat untuk peserta festival dan kemajuan teater pada umumnya.
Dalam catatan ini ada beberapa grup teater yang pembahasannya saya kelompokkan sesuai dengan kecenderungan potensi yang dimilikinya.
I. Keranda untuk Ibu
Kota besar selalu menawarkan seribu mimpi dan kisah kepedihan yang tak akan habis digali untuk didramakan di atas panggung oleh para seniman. Sementara masyarakat penikmat seni diharapkan akan datang menonton untuk berkaca dan merancang masa depan. Renungkanlah sebuah kisah tragis yang dimainkan oleh Teater SMA Pondok Modern Kendal, “Keranda untuk Ibu” karya/sutradara: Akhmad Sofyan Hadi.
Ada seorang pemuda bernama Jamal, diperankan dengan sangat bagus oleh Fathur Rojak, setelah beberapa tahun menganggur dan berupaya mencari kerja kesana kemari, akhirnya dengan sangat gembira dia mendapat kerja di sebuah instansi. Tapi siapa sangka kegembiraan Jamal segera berbalik menjadi dilemma. Pekerjaan yang lama dia tunggu-tunggu itu bertentangan betul dengan hati nuraninya. Disatu sisi dia membutuhkan uang untuk membiayai hidup dan cita-citanya agar bisa mendapatkan istri yang cantik dan membentuk keluarga bahagia, disisi lain dia dipaksa untuk menggusur pedagang kaki lima, perkampungan kumuh dan rumah para tetangganya. Puncaknya Simbok, ibu kandungnya, pun harus dibungkam mulutnya dengan kasar agar tidak protes dan menangis saat rumahnya akan digusur. Simbok pun meninggal secara tragis dalam bekapan Jamal.
Nova M, meski masih dibangku SMA, mampu memerankan tokoh Simbok dengan penuh penghayatan. Begitu jauh dia melakukan eksplorasi fisik, fikiran dan rasa sehingga gestur tubuhnya betul-betul menjadi seorang Simbok yang tua dan ringkih, lengkap dengan warna vocal sepuhnya. Begitu juga Fathur Rojak (pemeran Jamal), penghayatan kedua pemeran ini menulusup masuk dari ruang tragedi sampai komedi dengan sangat intens. Penonton dibawa larut dalam kepedihan dan gelak tawa melihat berbagai ironi zaman ini.
Sebagai sutradara sekaligus penulis naskah Akhmad Sofyan Hadi secara pribadi nampak dengan lancar menerjemahkan ide-idenya diatas panggung. Tapi pementasan ini akan terasa lebih utuh seandainya acting para pemeran pendukung, termasuk acting si Gadis (Adik Jamal) lebih matang lagi digarap. Karena saat bermain para peran pendukung tersebut terlihat ragu-ragu dan kurang menguasai apa yang dia lakukan di atas panggung. Hal ini terjadi karena mungkin diwaktu latihan sutradara terlalu fokus pada penggarapan akting peran utama sehingga peran-peran pendukung tidak sempat tergarap dengan baik. Begitu juga adegan pembuka (opening pertunjukan), saat Jamal dan keluarganya mencari piagam penghargaan juara beladiri yang hilang, terasa pura-pura sekali. Padahal piagam penghargaan juara beladiri Jamal itu sangat penting, yang dengan itulah dia bisa diterima untuk bekerja.
II. Kota Tak Henti Bernyanyi
Almarhum Wahyu Sihombing, sutradara drama realis jebolan ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia), penggagas Festival Teater Jakarta (FTJ), juga pendiri dan dosen Institut Kesenian Jakarta - IKJ, pernah mengatakan bahwa untuk menjadi actor dan aktris panggung yang mumpuni seseorang harus menunggu sampai berumur 30 tahun. Hal ini menimbang karena untuk menjadi actor dan aktris drama realis memang memerlukan pengalaman batin yang panjang, pengetahuan yang luas dan perbendaharaan emosi serta kemampuan ekspresi yang memadai baik dari segi vocal, gerak-gerik maupun mimic wajah.
Tapi simaklah acting Febriana, dari Teater Sukma SMK N 2 Semarang, saat memerankan tokoh Mbok Subiah dalam lakon “Kota Tak Berhenti Bernyanyi” karya Ramatyan Sarjono. Kita betul-betul kaget dibuatnya, dia begitu lihai memerankan tokoh tua yang penuh derita namun penyabar ini. Sampai akhirnya semua barang dagangan miliknya pun digusur dan dihancurkan oleh para petugas. Diujung kemarahan dan keputus asaan itulah dia tertawa, merintih, menjerit mengadu kepada Tuhan. Sementara itu Sri Wid, seorang pelacur yang dimainkan dengan cantik oleh Ayu Desi, tertawa pedih tak tahu mesti kemana menjemput masa depannya.
Febriana dan Ayu Desi adalah bintang dalam pementasan ini. Sebuah kisah pilu penderitaan rakyat kecil di kota besar yang dengan susah payah berusaha mempertahankan hidup dengan mengais rizki yang halal tapi terus diteror oleh kebengisan para petugas keamanan kota. Yang akhirnya karena tak tahan penderitaan Sri Wid pun jadi pelacur. Kerjasama dan permainan dialog dua pemain ini dilandasi dengan penafsiran laku dan penghayatan emosi yang begitu bervariatif sehingga tak ada kesan monoton. Penonton diajak mengelana memasuki kehidupan malam masyarakat terbuang di tengah kota.
Seandainya Eggi Insan Pasaribu (sang sutradara) melengkapi pertunjukannya dengan Orkes Madun yang turut menyemarakkan kepedihan malam maka akan lengkaplah ngaru oro (jeritan terlunta-lunta) hidup mereka. Itulah sekeping kehidupan orang-orang kecil yang terlewat dari agenda pembangunan negeri ini, tapi tak terlewat dari pengamatan para Seniman Teater muda yang ikut meramaikan Festival Drama se Jawa Tengah ini.
Seperti halnya Akhmad Sofyan Hadi (sutradara Keranda untuk Ibu), Eggi Insan Pasaribu yang menggarap Kota Tak Berhenti Bernyanyi ini juga memahami betul penafsiran dan benang merah cerita yang digarapnya. Dia tahu betul bagaimana harus mewujudkan dramatic adegan dan menjembatani transisi peristiwa demi peristiwa dengan sangat intens. Satu yang kita sayangkan dia terlalu mengabaikan penggarapan opening pertunjukan, bahkan terlihat seperti tidak digarap sama sekali. Para pemeran diperkenalkan di atas panggung tanpa setrategi penyutradaraan, terkesan tidak siap dan ogah-ogahan. Ataukah ini hanya improvisasi spontan? Padahal sejatinya saat itulah momen terpenting untuk merebut hati penonton agar adegan-adegan berikutnya tidak terasa berat dalam membangun tangga dramatiknya.
III. Klop
Dibuka dengan teriakan-teriakan kasar Rubiah saat memangil anaknya yang cacat Teater Insomnia SMK Farmasi Nusaputera 2 Semarang langsung mengajak penonton seisi gedung menelusuri kehidupan kelam seorang ibu yang merasa jijik terhadap keberadaan anak kandungnya sendiri. “Klop” karya/Sutradara: M. Teguh Satriyo, sebuah drama tragedi tentang keterpurukan sepasang suami istri pemulung yang kini sedang terlilit hutang. Mereka dihadapkan pada pilihan menjual anaknya yang cacat (Sekar) untuk membayar hutang ataukah terus menerus diteror oleh para rentener.
Dalam pertunjukan Klop ini, ketiga tokoh sentral Rubiah (Anggita Kurnia), Rokim (Navi Karona) dan Sekar (Nanda Maprilia) mampu dihidupkan dengan sangat baik oleh para pemerannya. Karakter orang miskin kota yang selalu berhadapan dengan kerasnya hidup mereka mainkan dengan sangat kompak, lengkap dengan kejujuran, kelicikan, kekumuhan dan sumpah serapahnya.
Rubiah, sang istri yang hamil tua dan dihantui ketakutan anak keduanya akan lahir dalam keadaan cacat juga, seolah mewakili ketakutan rakyat kecil akan tidak jelasnya masa depan di zaman ini. Tiap hari mereka makan serba kekurangan, biaya dokter dan kesehatan tak terjangkau, biaya pendidikan melambung tinggi, seolah hidup hanyalah menunda-nunda kematian.
Karena itulah Rubiah membenci Sekar, anaknya yang cacat. Dia ingin mengenyahkan anak itu. Dimatanya Sekar adalah aib dan pembawa sial, dia tidak boleh ada di rumah ini. Anggita Kurnia dengan cemerlang mampu menjembatani usia pelajarnya untuk menjadi Rubiah. Sesekali, dengan penuh penghayatan, dia melangkah dan duduk sambil menyeringai karena menahan berat kandungannya.
Disisi lain, melalui tokoh Rokim dan Sekar yang meski hidup dalam kubangan kemiskinan dan kelaparan, juga teror para rentenir, hidup ini tetap tak boleh digadaikan, dia harus terus dipertahankan dengan kejujuran. Nilai inilah yang ingin disampaikan oleh M. Teguh Satrio selaku penulis naskah dan sutradara dalam pemetasan Klop ini. Selaku sutradara Teguh sangat teliti menggarap para pemainnya. Dari pemeran utama sampai figuran terlihat diperlakukan sama dalam penggarapan di atas panggung sehingga kemampuan acting mereka terlihat merata.
Tapi dilain waktu Teguh mungkin perlu merenungkan irama keseluruhan pertunjukan, agar adegan demi adegan tidak selalu tampil dengan penuh ketegangan. Hal ini untuk memberi ruang perenungan bagi penonton, agar mereka sempat menangis atau mentertawakan diri sendiri.
IV. Kebebasan Abadi
Yang tak kalah menariknya adalah pementasan Teater Biassukma SMAN 1 Jepara dengan naskah “Kebebasan Abadi” karya: C. M. Nas yang disutradarai oleh Kustam Ekajalu. Naskah yang cukup berat dan sarat dengan perang urat saraf dalam mendedah apa arti kepahlawanan, kemerdekaan, cinta sejati, kejujuran dan pengkhianatan ini ternyata mampu dengan lancar dimainkan oleh para aktornya yang masih SMA. Meski kadang-kadang artikulasi para actor muda itu terserimpung oleh retorika kalimat tokoh-tokohnya tapi secara keseluruhan pementasan ini selama satu jam mampu menyihir penontonnya.
Tersebutlah sebuah kisah para pejuang di masa penjajahan yang terdampar di pulau terpencil. Dengan alasan melindungi anak buahnya agar selamat dari kejaran operasi Belanda maka Sang Kapten dengan sengaja merusak dan menenggelamkan perahunya lalu memerintahkan mereka semua bersembunyi di pulau tandus tersebut. Akhirnya mereka selamanya hidup di pulau terpencil itu tanpa ada harapan untuk bisa pulang ke negeri yang dicintainya.
Konflik demi konflik pun terjadi, 14 orang pejuang itu pun satu persatu mati, ada yang karena sakit, ada yang ditembak Sang Kapten karena dituduh telah berkhianat dan membangkang. Akhirnya mereka pun tinggal 5 orang, termasuk seorang suster. Mereka terus bersitegang karena dilanda stress dan berusaha memaksakan kehendaknya masing-masing pada orang lain. Sementara Sang Kapten senantiasa memposisikan dirinya sebagai sumber hukum tertinggi sekaligus hakim yang tidak boleh dipertnyakan keputusannya.
Dalam ketegangan dan kegelisahan yang berlarut-larut beberapa orang diantara mereka mulai meragukan eksistensinya sebagai pejuang, apakah mereka pejuang ataukah pengkhianat yang sengaja melarikan diri untuk mencari selamat. Maka benturan pemikiran dan konflik demi konflik pun terjadi.
SERSAN : Kita berjuang untuk mempertahankan republic, bukan mempertahankan pulau kosong ini.
LETNAN : Dimana republic? Republik adalah tanah pertiwi yang belum diinjak-injak oleh Belanda.
SERSAN : Kita akan merebutnya kembali.
Letnan : Kapan?
Dari awal pertunjukan, Kustam Ekajalu, terus menerus menyuguhkan ketegangan melalui dialog actor-aktornya dengan nada yang tinggi. Ada kesan terburu-buru memang, tapi para actor memainkan tokoh-tokoh yang diperankannya dengan cukup matang, kecuali pemeran Suster yang nampak kurang tenaga dan ragu-ragu.
Seandainya pertunjukan ini mau menggerakkan roda dramatiknya melalui inner action yang dirasakan oleh tokoh-tokohnya, bukan berangkat dari retorika kata, tentu bloking, gerak-gerik dan ekspresi wajah tokoh-tokohnya akan terasa lebih hidup. Juga bagaimana menghayati rasa sepi berkepanjangan, hempasan angin laut yang keras dan hidup tanpa harapan di pulau terpencil tentu akan terasa semakin mencekam.
Pemeran Kapten (Fikri Naufal), pemeran Sersan (……………), Kopral (Septian Eko) dan Letnan (…………….) dengan melihat kematangannya berdiri di atas panggung mereka adalah aktor-aktor berbakat yang sangat bisa diperhitungkan di pentas teater masa depan. Sungguh semua itu tak luput dari kepiawaian dan kerja keras Kustam Ekajalu selaku sutradara. Siiip kawan!
V. Tanda Silang
Pementasan lakon “Tanda Silang” karya: Eugene O’neill, sutradara: Didid Indro dari sisi penyutradaraan adalah sebuah pementasan yang apik dan utuh, set dan penataan kostum digarap dengan cermat, juga plot cerita mengalir dan terpahami dengan cukup baik. Meski lakon ini cukup berat, terlihat sutradara telah begitu gigih menjembatani para aktornya, yang masih duduk dibangku SMA, untuk memerankan tokoh yang mempunyai pengalaman batin begitu kelam dan panjang.
Mari kita bayangkan sosok seorang Darpo yang salah satu tangannya buntung serta mempunyai sifat yang licik dan serakah . Juga bagaimanakah sosok seorang Kapten kapal yang gila karena terobsesi dengan kapalnya , yang bernama Marlini, akan merapat ke pelabuhan sambil memuat harta karun dan emas berlian, padahal kapal tersebut sudah bertahun-tahun lalu tenggelam dihantam badai. Tiap hari tidak ada kerjaan lain kecuali dia hanya memandang lautan lepas, menunggu kapalnya itu pulang. Dengan suara paraunya yang menggelegar dia berhalusinasi dan berteriak-teriak:
“Dari sini aku melihat dengan jelas Ilyas dan Kanaka berjalan hilir mudik di geladak, di tengah terang bulan dia memandangku.”
Seandainya Tanda Silang ini akan dipentaskan lagi hal yang mesti lebih diperhatikan para actor Teater Kusuma SMA N 1 Mlonggo Jepara adalah bagaimana mereka harus mengkaji dan mengsksplorasi lebih dalam lagi karakter tokoh yang diperankannya, menafsirkan dengan lebih jelas identitas emosi berbagai kalimat yang di ucapkannya, juga bagaimana menciptakan motivasi saat mengisi bloking yang diberikan oleh sutradara.
VI. RENOVATIO (Sebelum Terbenam)
Renovatio (Sebelum Terbenam) karya: N. T. Omar, Sutradara Tim - Teater Asmat SMA N 4 Semarang adalah sebuah pementasan drama dengan tema yang actual, yaitu pergesekan budaya masa kini dengan masa lalu. Panggung merupakan gambaran sebuah tempat untuk menunggu, sebuah simbul tentang dunia itu sendiri dimana generasi demi generasi lahir secara bergantian.
Suatu petang ‘sebelum matahari terbenam’ seorang Nenek dan seorang Perawat duduk tenang menanti seseorang. Lalu datanglah secara estafet beberapa tokoh lain yang mewakili generasi masa kini diantaranya Gadis 1, Gadis 2 dan Gadis 3. Dari dialog antara Nenek, yang mewakili generasi tua, dengan tiga orang Gadis inilah berbagai persoalan kehidupan didiskusikan dan kadang juga dibenturkan. Dalam lakon ini plot cerita lebih merupakan sampiran untuk mewadahi berbagai pemikiran yang didiskusikan oleh pengarang melalui tokoh-tokoh yang ditulisnya. Juga gagasan tentang tangga dramatic yang biasa diterapkan dalam drama-drama konvensional boleh dinomor duakan.
Tapi meski begitu kita melihat Sutradara dan para pemainnya tak mau tinggal diam, mereka telah bekerja keras menciptakan karakter –karakter yang kuat dalam pementasan ini. Ratu Elsye yang berperan sebagai Nenek misalnya, dia telah bermain dengan sangat intens. Sepanjang pertunjukan dia mampu menjaga gesture tubuh dan warna vocalnya sebagai nenek dengan sangat pas, yaitu seorang Nenek yang terpelajar. Juga artikulasi vocal dan cara Nenek mendedah berbagai persoalan sungguh sangat cerdas dan keren. Ini adalah modal utama seorang artis. Dalam soal acting kekurangan Ratu Else hanyalah terlalu banyak melakukan soliloquy (bicara sendiri) sehingga terasa kurang real. Juga saat melakukan move (berjalan sesuai bloking) barangkali perlu difikirkan kembali apa motivasinya.
Pemeran lain yang patut dicatat dalam drama ini adalah Denya Salsabila (Gadis 2) yang sanggup bermain secara spontan, sehingga dialog yang dia ucapkan betul-betul menjadi milik dan selalu ada kebaruan. Penting bagi seorang aktor/aktris belajar untuk menjadi spontan dalam berakting, sehingga tidak ada kesan menghafal dan mengingat-ingat.
Dari sisi penyutradaraan menghadapi lakon semacam ini hal yang agak rumit adalah membangun irama pertunjukan agar tidak monoton. Juga bagaimana menafsir dan memberi isi bagi tiap-tiap adegan agar peristiwa demi peristiwa yang ada bisa terjadi dengan wajar, tapi tetap menggairahkan untuk ditonton.
VII. WEK-WEK
Pementasan Wek Wek karya Djadug Djaya Kusuma, sutradara Asyam Kusatyo Teater Stesa MAN Kendal adalah sebuah pertunjukan yang komunikatif dari sisi hiburan, tapi kurang berhasil membangun peristiwa dramatiknya. Tokoh Petruk yang seharusnya menggerakkan roda dramatik tiba-tiba tersisih hanya menjadi peran pelengkap penderita.
Petruk memang tidak memiliki porsi dialog sebanyak tokoh yang lainnya, tapi dialah yang memegang rol cerita. Dan inilah yang menjadi tantangan sutradara dalam lakon ini. Seluruh konflik dan dialog yang di ucapkan tokoh lain merupakan reaksi yang bermula dari action yang dilakukan oleh Petruk. Action Petruk yang menjadi bisu dan hanya bisa bicara “wek-wek” itulah yang menyebabkan silang pendapat antara Gareng dan Bagong.
Petruk yang menderita dan dengan gigih ingin menuntut keadilan, meski harus pura-pura sakit “wek-wek” inilah yang menjadi benang merah sepanjang pertunjukan ini, namun nampaknya kurang digarap oleh sutradara, karena terlalu terfokus pada dialog dan perdebatan Gareng dengan Bagong.
Kata-kata “wek-wek” yang diucapkan berulang-ulang oleh Petruk bukanlah memiliki arti yang tunggal, dia keluar dari berbagai tuntutan emosi dan keadaan sesuai benang merah adegan yaitu menuntut keadilan sampai tuntas, apa pun yang terjadi. Arti “wek-wek” selalu berubah, sasaran kalimat dan motivasinya juga selalu berubah, sehingga ekspresi Petruk pun selalu berubah-ubah dengan dinamis, tidak melulu penderitaan yang dia tampakkan, tapi juga kemarahan, nada protes, tipudaya, ada rasa khawatir karena takut kedoknya terbuka, puas karena berhasil mengelabuhi dan lain-lain.
Secara keseluruhan pementasan Wek - Wek ini cukup menarik dan komunikatif. Dan para pemerannya seperti M. Sirojudin (Semar), Siti Marliana Ulfa (Bagong), juga pemeran Gareng dan petruk adalah aktor dan aktris muda yang berbakat. Sutradara sanggup mengarahkan mereka agar bermain dengan rileks sehingga mampu mengukur proyeksi vocal agar ucapan mereka jelas terdengar oleh penonton.
VIII. TAKDIR
Dalam Festival Drama Pelajar 2011 se Jateng ini ada beberapa grup yang mementaskan naskah karangan sendiri, salah satunya adalah Teater Mega SMA Negeri 1 Banjarnegara yang mementaskan lakon Takdir, karya: Amelia Hayuning Pakarti. Sebuah drama keluarga yang dibangun dengan konstruksi dramatic mono plot. Dengan sistematis dan cermat Hayuning Pakarti memperlihatkan bakat kepengarangannya untuk menceritakan dilema seorang istri (Ningrum) yang bertahun-tahun ditinggal pergi tanpa kabar oleh suaminya.
Karena menghadapi berbagai cobaan hidup yang berat, juga desakan anaknya yang terus menerus menanyakan siapa bapaknya, Ningrum, diperankan dengan lugu oleh Tiara Rahma Wahyuning Tyas, akhirnya bimbang dan mempertanyakan apakah Haryanto (suaminya) yang diperantauan masih hidup? Kalau ya, kenapa tidak pernah memberi kabar sedikitpun. Melihat hal ini, dengan didorong rasa kasihan, mertua Ningrum menyarankan agar Ningrum menikah lagi. Semua ini untuk kebaikan Ningrum dan Dian cucunya, kata mereka.
Konflik dan dilema tentang kesetiaan dan penantian Ningrum, juga kegelisahan keluarga dalam menunggu Haryanto inilah yang menjadi benang merah lakon yang ingin disampaikan Catur Septiana Rakhmawati (sutradara) dalam Pementasan “Takdir” ini. Seandainya benang merah ini lebih digaris bawahi penggarapannya tentu akan menghasilkan rentetan adegan yang dramatik dan menegangkan. Apalagi jika keberadaan pemain diatas panggung lebih ditambah energinya, maka tempo adegan akan mengalir dengan intens dan tidak terkesan berlarut-larut.
Seharusnya ada momen khusus dimana Ningrum gelisah, menjerit dan menangis menimbang-nimbang kesetiaannya sebelum dia memutuskan untuk menikah lagi. Wow! Menikah lagi, dimana suami yang dicintainya belum tentu keberadaannya, untuk orang sebaik Ningrum tentu bukan hal yang ringan.
Untuk meningkatkan kemampuan berakting Sutradara dan para aktor perlu mendedah kembali karakter tokoh-tokohnya agar lebih utuh, juga mengadakan latihan teknik vocal secara khusus yang bertujuan melatih ketangkasan berdialog dan berargumentasi. Ditambah latihan proyeksi suara agar dialog-dialog yang diucapkan bisa meruang ke seluruh isi gedung pertunjukan.
Ada hal lain yang menjadi nilai lebih pementasan grup ini dibandingkan dengan beberapa grup yang lain, yaitu pemahaman skenografi panggung. Catur Septiana Rakhmawati selaku sutradara dengan sangat efektif dan rapi , bekerjasama dengan Penata Artistik, sanggup memetakan lokasi set yang begitu banyak diatas panggung. Dia petakan dengan tepat kemana dan dari mana keluar masuk pemain, dimana letak interior dan eksterior rumah.
Akhirnya kita masyarakat Teater punya harapan besar terhadap Teater Mega SMA Negeri 1 Banjarnegara ini, karena disini terkumpul berbagai elemen yang yang dibutuhkan oleh dunia teater yaitu penulis yang berbakat, sutradara yang faham teknik pemanggungan, pekerja panggung dan aktor-aktor muda yang kompak.
IX. Bulan Tak Lagi Indah saat Malam Tiba
Pendekatan dramatik yang dilakukan oleh Teater of Dream SMA N 15 Semarang dalam mementaskan lakon Bulan Tak Lagi Indah saat Malam Tiba karya: N. T. Omar – sutradara: Tim SMA N 15, memang berbeda dengan pendekatan dramatic yang dilakukan oleh grup teater lain peserta festival . Hal ini disebabkan oleh cara bertutur naskah yang berbentuk sketsa-sketsa kejadian. Dan tiap-tiap sketsa (baca adegan) bisa sangat berdiri sendiri jika transisi adegan tidak terkonsep dengan baik. Hal inilah yang kadang menjadi persoalan pementasan ini.
Pementasan yang mengisahkan perjalanan hidup seorang Kakek yang berusaha menutupi dan melupakan kejahatan masa lalunya ini bergulir dengan penuh semangat dan didukung dengan energy yang memadai dari para aktornya. Pemeran Sung (Belinda) dalam lakon ini bermain sangat bagus dan penuh penghayatan tapi kadang-kadang lemah dalam proyeksi vocal. Ada beberapa dialog yang dia ucapkan tidak bisa kita dengar, mungkin karena dia terlalu asyik dalam permainannya.
Disisi lain yang agak mengganggu dari pementasan ini adalah sepanjang pertunjukan berlangsung susah dibedakan antara adegan flash back, pararel dan mimpi. Ini disebabkan karena hampir semua adegan digarap dengan pendekatan dan bobot yang sama dalam soal dramatic, terlebih pemain yang memerankan Tokoh Kakek kurang memiliki kemampuan acting yang fleksibel agar mampu memerankan dirinya dalam berbagai usia (muda dan tua).
Kerja keras sutradara yang dengan teliti menggarap pemain agar berfikir kritis terhadap berbagai hal nampak terlihat dalam permainan mereka, sehingga mereka mampu mendiskusikan berbagai persoalan dari tahanan politik, partai terlarang, penyiksaan para aktifis, pembantaian massal sampai ketakutan akan kematiannya sendiri. Meski kadang hal ini untuk beberapa pemain terasa tak sampai karena jauhnya jarak pengalaman batin, tapi diluar semua itu acting Belinda sebagai Sung, acting ….. sebagai Perempuan 2 yang berbicara sambil mengetik, juga acting ….. yang bermain dengan sangat intens sebagai Nenek patut untuk dipujikan.
X. Mimpi-Mimpi
Sesuai judulnya “Mimpi-mimpi” pementasan karya TeBe Kamaludin yang disutradarai oleh Putut Ahmad Su’adi dari Teater Kelir SMA N 1 Klirong Kebumen ini mengalir dengan imajinatif. Gambaran tentang dunia kanak-kanak berusaha dihadirkan dengan baik oleh sutradaranya. Pemeran Papa dan Mama juga bermain cukup baik. Tapi pemeran Rik harus lebih berani lagi mengeksplorasi permainannya agar tidak monoton. Dia harus lebih membuka diri agar berbagai identitas emosi yang dirasakannya bisa terekspresikan dengan bebas.
Tokoh Dreamy perlu dipikirkan kembali kostumnya agar lebih wah dan imajinatif. Juga aktingnya masih kurang total dan lepas. Sebagaimana si Raja Mimpi maka merdekakanlah dirimu di atas panggung Dreamy.
Dari karakter naskahnya pertunjukan “Mimpi-Mimpi” ini adalah pertunjukan yang gembira dan sangat musical, seandainya sutradara melangkah lebih total kearah sana maka pementasannya akan sangat menawarkan berbagai banyak kemungkinan untuk menjadi hebat. Masih banyak kesempatan bro! Soal kemewahan set dan kostum tak perlu mahal, ada banyak barang bekas yang bisa disulap jadi mahal. Coba tanya saja pada mahasiswa Teater Gema hehe…. Ya kan kak?
XI. Membangun Peristiwa Dramatik Dalam Sebuah Pertunjukan
Keberhasilan drama realis dalam sebuah permentasan sangat ditentukan oleh kemampuan sutradara dan aktor dalam membangun peristiwa melalui laku tokoh-tokoh yang dimainkannya di atas panggung, bukan melalui retorika kata semata. Dalam hal ini kata-kata hanyalah salah satu elemen keaktoran, sementara laku yang dilandasi penghayatan batin, karakter dan fikiran tokoh adalah tulang punggung yang menggerakkan laku (action).
Ketidak mampuan membangun peristiwa dramatic ini bisa disebabkan oleh beberapa hal diantaranya benang merah cerita yang tidak dipegang secara konsisten oleh sutradara dan pemain, analisa karakter yang belum maksimal dari tiap-tiap tokoh, kesatuan konsep ekspresi elemen pertunjukan yang belum matang, juga kurangnya kemampuan actor dalam menghayati dan mengekspresikan tokoh yang diperankannya.
Benang merah cerita yang tidak dipegang secara konsisten selain bisa menyebabkan pementasan drama keluar dari plot cerita yang digariskan, juga bisa menyebabkan konsep penyutradaraan salah memilih tokoh mana yang harus ditonjolkan dalam tiap adegan, akibatnya pertunjukan kehilangan fokus dramatic.
Hal inilah yang terjadi pada pementasan “Kuku Kluruk” karya Masudi Dee Sutradara: Didid Endro dari Teater Kapas SMA N 1 Donorojo Jepara. Dramatik adegan yang telah dibangun secara cermat melalui Pakne yang tergila-gila adu jago, dan Bune yang merasa ditelantarkan, tiba-tiba diserobot begitu saja oleh sebuah kisah cinta yang berkepanjangan antara Wagisan dan Tugiyem. Akibatnya pementasan ini jadi kehilangan focus permasalahan. Padahal kita semua menunggu-nunggu Pakne akan melakukan perbuatan nekad apa saja untuk melampiaskan kegilaannya sebagai penjudi adu jago itu? .
***
Pementasan “Arca” karya/Sutradara: Gatot Supriyanto dari Teater Smakindo SMA Kristen Indonesia. Pementasan ini dari awal sampai akhir pertunjukan berjalan dengan cukup komunikatif, meski kurang dramatic.
Sebuah kisah cinta, yang dibalut dengan kecemburuan, kepalsuan dan dengki. Karno dengan sengaja mencuri Arca dengan tujuan untuk memfitnah Pak Totok saingan cintanya yang telah merebut Lati, seorang perempuan pemilk sebuah Galeri.
Pementasan Arca ini berjalan agak tersendat-sendat (kurang dramatic) karena actor yang memegang rol pertunjukan kurang menghayati permainannya. Tapi kita masih cukup terhibur oleh pemeran yang lain yaitu Sri (………………) yang bermain dengan sangat alamiah dan spontan, dialog-dialog yang diucapkannya selalu tepat sasaran. Juga ilustrasi music digarap dengan serius.
Hal yang masih bisa ditingkatkan dalam pementasan ini adalah bagaimana sutradara dan penata artistic mesti bekerja sama lebih cermat lagi dalam memetakan panggung untuk menata set agar lebih imajinatif dan efektif.
Sutradara juga perlu menjelaskan kembali pada pemeran Karno dan Totok tentang sasaran kalimat dan identitas emosi yang diucapkannya. Selain itu perlu juga diadakan latihan kelenturan tubuh agar lebih rileks dan tidak monoton dalam bermain.
***
Saya melihat beberapa sutradara yang mementaskan lakon-lakon berikut: “Tak Ada Bintang di Dadanya” karya: Hamdy Salad - sutradara: Haryanto Djee dari Teater Tanjunk SMA N 7 Purworejo; “Matahari di Sebuah Jalan Kecil” karya: Arifin - dari KTP Madas MA Darussalam Subah Batang,; “Wow Begitu Toh?” karya: Noor WA - sutradara: Agus Pramono dari Teater Piencet SMA Plus Bakti Utama Purworejo; “Kampung Kardus” karya: Gepeng Nugraha - sutradara: Ichsan Bahrudin dari Teater Bayang MAN 2 Pekalongan ; “Sang Pekatik” karya/sutradara: Darmadi Spd dari Teater Pijar SMA N 3 Temanggung mempunyai problem yang hampir sama dalam menggarap para pemainnya. Yaitu pemain tidak bisa menikmati acting yang dilakukannya diatas panggung, sehingga mereka terlihat canggung, ragu-ragu, terburu-buru ingin cepat selesai, tidak bisa vokus dan konsentrasi, bahkan ada juga yang bingung.
Menghadapi hal ini sutradara harus melakukan kembali membaca naskah secara bersama sambil menjelaskan satu persatu sasaran kalimat dan identitas emosi yang diucapkan para pemain, kemudian meningkat karakter masing-masing tokoh, aksi reaksi, lalu hubungan karakter antara tokoh yang satu dengan yang lainnya, kemudian meningkat lagi pada tangga dramatic, juga bobot dan puncak dramatic tiap-tiap adegan.
Paralel dengan pembahasan tersebut maka pelan-pelan barulah melangkah pada latihan bloking, ketepatan ekspresi, aksi reaksi, irama permainan, kerjasama dalam bermain, proyeksi suara dan lain-lain. Insya Allah jika hal ini dikerjakan dengan cermat maka para aktor ini akan mempunyai kepastian saat bermain di atas panggung dan kemudian dapat menikmati permainannya.
***
Selain benang merah cerita dan penggarapan pemain, kesatuan ekspresi pertunjukan juga harus dikonsep secara jelas oleh sutradara. Hal inilah yang nampak kurang diperhatikan oleh beberapa grup teater diantaranya Teater Metamorphosis yang mementaskan “IF” karya/sutradara: Eni Is Sulistyaningtyas.
Dalam pertunjukan If, opening dengan menggunakan gending Jawa tidak ada korelasinya sama sekali dengan pengadeganan dan elemen penyutradaraan selanjutnya sehingga terasa hanya tempelan yang dipaksakan.
Begitu juga yang dilakukan Teater Petir SMA PGRI Jepara yang mementaskan “Ketika Orang-orang Telanjang” karya Rangga MD dan disutradarai oleh Sihabudin. Tidak adanya kesatuan konsep ekspresi dalam pertunjukan ini dimulai dari pilihan naskahnya.
Naskah “Ketika Orang-orang Telanjang” ini sangat lemah dari sisi dramatic dan daya ungkapnya. Tokoh-tokoh yang ada tidak menggambarkan sebuah karakter yang utuh sebagai manusia. Hanya merupakan simbul-simbul yang ditulis secara terburu-buru. Sementara naskah adalah modal pertama agar grup bisa menghasilkan pertunjukan yang baik.
XII. Penutup
Tiada gading yang tak retak, begitulah catatan ini saya buat, semoga bisa bermanfaat untuk teman-teman Peserta Festival, Teater Gema IKIP PGRI Semarang selaku penyelenggara, juga siapa saja yang membacanya.
Tak lupa saya ucapkan terimakasih pada panitia dan anggota juri yang lain (Eko Tunas dan Mas Ton Lingkar) atas kerjasamanya yang begitu hangat. Sebagaimana Chairil Anwar, sang penyair, aku pun ingin berkata, “Berjagalah terus di garis batas impian dan harapan.”
***
@ Zak Sorga (08176757630; 083871690358)
Email: zaksorga_sangpecinta@yahoo.com ; fadayenkhalifah@yahoo.com